DINAMIKA PESANTREN DI INDONESIA
A. Pengertian Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari hari.
Secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata "santri" , yang dengan awalan pe- dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri. Kata "santri" juga merupakan penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik.[1] Sementara, Dhofier menyebutkan bahwa menurut Profesor Johns, istilah "santri" berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang C C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[2] Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam. Dengan demikian,pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya interaksi guru murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman.
Dalam hubungan dengan usaha pengembangan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah (Departemen Agama), pengertian yang lazim dipergunakan untuk pesantren adalah sebagai berikut:
Pertama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem Bandongan dan Sorogan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, (Sistem Bandongan dan Sorongan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut.
Kedua, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (Santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, para santri berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu (umpama tiap hari jum'at, ahad, selasa atau tiap-tiap waktu shalat dan sebagainya).
Ketiga, pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan atau wetonan dengan disediakan pondokan untuk para santri yang berasal dari jauh dan juga menerima santri kalong, yang dalam istilah pendidiÿÿn modernrtemenuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing.[1]
Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karen memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri. [2] Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pcsantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren , khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). Adapun yang dimaksud dengan pribadi muslim seutuhnya adalah pribadi ideal meliputi aspek individual dan sosial, aspek intelektual dan moral, serta aspek material dan spiritual. Sementara, karakteristik pesantren muncul sebagai implikasi dari penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan pada keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian (menolong diri sendiri dan sesama), ukhuwwah diniyyah dan islamiyyah dan kebebasan. Dalam pendidikan yang seperti itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan falsafah hidup para santri.[1]
Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan. Selain itu, pendidikan dan pengajaran agaman Islam tersebut diberikan dengan metode khas yang hanya dimiliki oleh pesantren, yaitu;
Rundongan atau Wetonan adalah metode pengajaran dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang membacakan kitab tertentu, sementara santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan-catatan. Disebut dengan istilah Wetonan, berasal dari kata wektu (istilah jawa untuk kata: waktu), karena pelajaran itu disampaikan pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum atau sesudah shalat fardhu yang lima atau pada hari-hari tertentu.
Sorogan, adalah metode pengajaran individual, santri menghadap Kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran dari kitab tersebut kalimat demi kalimat, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan mengesahkan (istilah jawa: ngesah), yaitu dengan memberi catatan pada kitabnya untuk menandai bahwa ilmu itu telah diberikan kyai. Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan, maksudnya santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai, sehingga terkadang santri itu sendiri yang membaca kitabnya dihadapan kyai, sedangkan kyai hanya menyimak dan memberikan koreksi bila ada kesalahan dari bacaan santri tersebut.
Beberapa pesantren dalam perkembangannya, disamping mempertahankan sistem tradisionalnya juga menggunakan sistem madrasi, baik sebagai basis pendidikannya ataupun yang bersifat tambahan.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren
Agak sulit untuk mengidentifikasi dan menerangkan kapan dan bagaimana sesungguhnya pesantren itu lahir (baca ada). Studi yang dilakukan oleh para sarjana kadang-kadang belum menemukan titik temu yang dapat dipakai sebagai sumber informasi yang benar-benar dipercaya mengenai perjalanan kehidupan pesantren. Seperti dikemukakan oleh Geertz sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa:
"Islam masuk ke Indonesia secara sistematis baru pada abad ke-14, herpapasan dengan suatu kebudayaan besar yang telah menciptakan suatu sistern politik, nilai-nilai estetika, dan kehidupan sosial keagamaan ayang sangat maju, yang dukembangkan oleh kerajaan Hindu-Budha di Jawa yang telah sanggup menanamkan akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia”[1]
Apa yang dikemukakan Geertz tersebut hanya tentang Islam di kraton-kraton (pusat kekuasaan) di Jawa, sedangkan yang menyangkut Islam dilingkungan pesantren tidak disinggung sama sekali. Sebenarnya Islam di pesantren merupakan upaya kelanjutan dari masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dilakukan oleh pedagang Arab sejak abad ke-13. Geertz tidak menyebut tentang Islam di lingkungan pesantren, padahal Islam di lingkungan orang pesantren merupakan akar yang amat kuat yang dibentuk melalui pendekatan yang sangat manusiawi yang disebarkan lewat pengajaran oleh guru dan murid berdasarkan atas kehidupan kekeluargaan.
Sesungguhnya proses terbentuknya pesantren dapat dipastikan sebagai upaya untuk melembagakan kegiatan agama, agar memiliki posisi dan peran yang berarti dalam menangani dan menanggulangi berbagai permasalahan kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh para pemula penyebar agama Islam yang dilaksanakan melalui kegiatan non formal dengan tatap muka yang kurang terjadwal berubah secara berangsur-angsur menjadi kegiatan yang terorganisasi, terlembaga dalam wujud yayasan-yayasan pendidikan pesantren, dari pesantren dengan sistem pendidikannya yang masih sangat sederhana hingga pesantren yang telah menerapkan sistem pendidikan sebagaimana lembaga pendidikan sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah berasrama (Islamic Boarding School).
1. Walisongo dan pengaruhnya
Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo pada abad ke-15 - 16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad.[1] Maulana Malik Ibrahim (Tahun 1419 di Gresik) - spiritual father Walisongo-dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di Tanah Jawa.[1]
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa abad ke-15 - 16 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Girl, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. "Wali" dalam bahasa Inggnis pada umumnya diartikan ".saint", sementara "songo" adalah istilah bahasa jawa yang berarti sembilan. Para santri jawa berpandangan bahwa Walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di jawa demikian memikat.
Pada abad ke-15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah mereka hingga mereka memiliki jaringan di kota kota bisnis di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kota-kota inilah komunitasa muslim pada mulanya terbentuk. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo mendirikan masjid pertama di Tanah Jawa, yaitu masjid Demak. Masjid ini kemudian menjadi pusat Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di Tanah Jawa.[1]
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa abad ke-15 - 16 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Girl, Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. "Wali" dalam bahasa Inggnis pada umumnya diartikan ".saint", sementara "songo" adalah istilah bahasa jawa yang berarti sembilan. Para santri jawa berpandangan bahwa Walisongo adalah pemimpin umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi jawa yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi bersinar terang. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di jawa demikian memikat.
Pada abad ke-15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah mereka hingga mereka memiliki jaringan di kota kota bisnis di sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kota-kota inilah komunitasa muslim pada mulanya terbentuk. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo mendirikan masjid pertama di Tanah Jawa, yaitu masjid Demak. Masjid ini kemudian menjadi pusat terpenting di Jawa dan memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa termasuk daerah-daerah pcdalaman.
Bagi komunitas muslim, Masjid Demak tentu bukan saja sebagai pusat ibadah (ritual keagamaan), tetapi juga sebagai wahana pendidikan mengingat lembaga pendidikan Islam -lebih dikenal dengan pesantren-pada masa awal ini belum menemukan bentuknya yang final, bahkan masih sangat sederhana. Masjid dan pesantren sesungguhnya merupakan center of execellece yang saling mendukung dan melengkapi dalam membentuk kepribadian muslim. Sesungguhnya pula dakwah dan pendidikan tidak bisa dipisahkan dalam sejarah dan ajaran dasar Islam.
Pendidikan Islam atau juga transmisi Islam yang dipelopori Walisongo merupakan perjuangan brilliant yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam karena pendekatan-pendekatan Walisongo yang konkrit realistik, tidak "jlimet" dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Approach dan wisdom Walisongo agaknya terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep modeling, keagungan Muhammad SAW, serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Barangkali karena modeling ini pula gagasan pesantren sederhana yang diperkenalkan Maulana Malik Ibrahim mampu eksis dan berekembanng dari abad ke abad sampai kini. Untuk mengantisipasi dan mengakomodasi persoalan-persoalan sosial keagamaan serta merekrut murid-murid baru, Maulana Malik lbrahim tidak merasa kesulitan dalam mendirikan prototipe pesantren dalam bentuk embrio. Pendirian pesantren ini dibarengi dengan keberhasilan tokoh ini dalam menarik simpati massa, dan melengkapi diri dengan modal materi pribadi yang digunakan untuk dakwah lslamiyyah sebagai "a traveling Muslim merchant" dan guru panutan. Pada siang hari, sang guru membawa anak didik ke sawah dan malam hari mengajarkan mereka ilmu-ilmu dasar seperti membaca A1-Qur'an. Karena rekayasa ini, tokoh ini sering disebut sebagai "the father of early pesantren" di Jawa. Langkah beliau ini kemudian diikuti oleh para wali setelahnya, seperti yang dilakukan oleh Raden Rahmat atau lebih dikenal dengan Sunan Ampel dengan mendirikan pesantren di daerah Kembang Kuning (Surabaya)[1] sebagai pusat kegiatan dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama[1]. Pesantren ini yang terdokumentasi dalam Babad Tanah Djawi sebagai awal mula adanya sebuah lembaga yang disebut "pesantren".[2].
Walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah "sayangi, hormati, dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka makanan dan pakaian, hingga mereka bisa menjalankan syari'at Islam dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan".
Sedangkan pola hubungan antara santri dan kyai lebih diwarnai oleh ajaran dari kitab ta'lim al-Muta'allim karya Zarnuji, yang dianggap sebagai pedoman etika mencari ilmu yang melibatkan peran kyai.
2. Masa Kerajaan Mataram
Pada abad berikutnya setelah masa Walisongo, sekitar abad ke-17, lemhaca pcndidikan pesantren semakin mendapatkan posisi di masyarakat, karena penguasa kerajaan saat itu memberikan perhatian besar terhadap pendidikan agama Islam dengan memelopori usaha-usaha untuk memajukan dunia pendidikan dan pengajaran Islam.
Pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613 sampai dengan 1645, Sultan Agung merupakan penguasa terbesar di Jawa setelah pemerintahan Majapahit dan Demak, yang juga dikenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidin Panotogomo Ing Tanah Jawi, yang berarti pemimpin dan penegak agama di tanah jawa. Sultan Agung adalah pemimpin negara yang salih dan menjadi salah satu rujukan utama bagi dunia santri. Sultan Agung menjalin hubungan intim dengan kelompok ulama. Bersama mereka, Sultan Agung melaksanakan shalat jum'at dan diikuti dengan tradisi musyawarah dan mendengar fatwa-fatwa keagamaan mereka. [1]
Sebagai wujud besarnya perhatian Sultan Agung terhadap pendidikan Islam, beliau menawarkan tanah pendidikan bagi kaum santri serta menciptakan iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka tidak kurang dari 300-an pesantren.
Tanah perdikan, tanah dengan beberapa privileges adalah sebuah lokasi untuk kepentingan kehidupan beragama yang dibebaskan dari pajak Negara. Perkembangan berikutnya menunjukkkan bahwa tanah perdikan meluas menjadi sebuah kampong khusus yang memiliki fungsi keagamaan seperti menjaga tempat-tempat suci, merawat dan mengembangkan pesantren serta menghidupkan Masjid.[1]
Pendidikan pesantren yang diselenggarakan pada masa kerajaan Mataram, khususnya masa Sultan Agung, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tingkat pengajian Al-Qur'an, yang terdapat dalam setiap desa. Yang diajarkan meliputi huruf Hijaiyah, membaca Al-Qur'an, barjanji, Rukun Iman, Rukun Islam. Gurunya Modin.
b. Tingkat pengajian Kitab. para santri yang belajar pada tingkat ini adalah mereka yang telah khatam A1-Qur'an. Gurunya biasanya modin terpandai di desa itu, atau didatangkan dari luar dengan syarat-syarat tertentu. Guru-guru tersebut diberi gelar Abah Anom. Tempat belajar biasanya di serambi masjid dan mereka umumnya mondok. Kitab yang dipelajari adalah kitab-kitab dasar, seperti Matan Taqrib, Bidayatul Hidayah. Sistem yang digunakan adalah Sorogan
Tingkat Pesantren Besar. Tingkat ini lengkap dengan pondok dan tergolong tingkat tinggi. Gurunya diberi gelar Kyai Sepuh atau Kanjeng Kyai dan umumnya para priyayi "ulama kerajaan" yang tingkat kedudukannya sama dengan penghulu. Adapun pelajaran yang diberikan pada pondok pesantren tingkat ini pada umumnya berbentuk syarah dan hasyiyah b. dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti Fiqih, Tafsir, Hadits, llmu Kalam, Tasawuf , Nahwu, Sharaf dan lain-lain.
d. Pondok Pesantren tingkat Keahlian (takhassus). Pelajaran pada pondok pesantren tingkat takhassus ini adalah bersifat memperdalam sesuatu fan atau disiplin ilmu pengetahuan agama seperti hadits, Tafsir, Tarekat dan sebagainya.[1]
Sejalan dengan proses dinamis ini pendidikan Islam di Jawa masa kerajaan Mataram, khususnya pada masa Sultan Agung, dipandang oleh Mahmud Yunus, sebagai masa keemasan sistem pendidikan Islam abad ke-19."
3. Masa Penjajahan
Kemajuan pendidikan dan pengajaran Islam yang pesat pada masa kerajaan Mataram rupanya membuat pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir. Sebab, dengan majunya pesantren, pada suatu saat akan mengancam kedudukan Belanda. Oleh karena itu, di kalangan pemerintah Belanda, muncul ada dua alternatif untuk memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia, yaitu mendirikan lembaga pendidikan yang berdasarkan lembaga pendidikan tradisional, pesantren atau mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di Barat waktu itu.
Pendidikan yang diselenggarakan secara tradisional di pesantren menurut pemerintah Belanda terlalu jelek dan tidak mungkin dikembangkan menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka memilih alternatif kedua yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang telah ada.[1]
Pendidikan Kolonial Belanda ini sangat berbeda dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus dari segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda ini khususnya berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pengetahuan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi penghayatan agama.[2]
Tetapi ternyata dengan diselenggarakannya pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda ini justru tidak lebih memberikan keleluasaan pendidikan pesantren yang dikelola orang-orang pribumi (umat Islam). Pemerintah kolonial berusaha menghalang-menghalanginya, terutama dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijaksanaan yang dirasakan cukup menekan kegiatan pendidikan Islam di Indonesia.
Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian bangsa Indonesia, terutama bagi golongan priyayi dan pejabat, oleh pemerintah kolonial tersebut maka sejak itu terjadilah persaingan antara lembaga pendidikan tersebut dengan lembaga pendidikan pesantren
Meskipun harus bersaing dengan sekolah- sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial, lembaga pendidikan pesantren tetap eksis dan bahkan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Jika pada awal abad ke-19, waktu Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah, jumlah pesantren di Jawa hanya sebanyak 1.853 buah, dengan jumlah santri 16.556 orang. Tetapi pada akhir abad ke-19 jumlah pesantren mencapai 14.929 buah dan jumlah santri sebanyak 222.663 orang. [1]
Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya segi-segi ideologis dan citacita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis, bahkan perlawanan fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan ) melawan pemerintah koonial Belanda pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan dari pesantren. Perang-perang besar, seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Banjar, sampai perlawanan- perlawanan rakyat yang bersifat lokal tersebar di mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni-alumninya memegang peranan utama.[1]
Menyaksikan kenyataan yang demikian menyebabkan pemerintah kolonial di akhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Oleh karena itu, pemerintah kolonial mulai mengadakan pengawasan dan campur tangan terhadap pendidikan pesantren dengan mengeluarkan ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang mengajarkan agama, seperti pesantren dan guru-guru agama yang akan mengajar juga harus mendapatkan izin dari pemerintah kolonial di wilayah setempat.
Sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat yang mulai menjangkau sebagian bangsa Indonesia, pesantren pun mulai mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, termasuk dalam bidang pendidikan mulai masuk ke Indonesia dan mulai merasuk ke dunia pesantren, serta dunia pendidikan Islam pada umumnya. Ide-ide pembaharuan dalam dunia Islam itu timbul sebagai akibat kemunduran umat Islam dan merajalelanya penjajahan Barat. Umat Islam menyadari akan kelemahan dan ketertinggalannya dari Barat, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi maupun budaya. Olah karena itu usaha pembaharuan pada umumnya ditekankan pada pembaharuan dalam dunia pendidikan.
Pada garis besarnya ide pembaharuan dlam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam, bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada sistem pendidikan yang berlaku di Barat, yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di dunia Barat dipandang sebagai sumber kekuatan. Oleh karena itu kelompok ini mengembangkan sistem dan isi pendidikan Barat.
b. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni. Mereka berpandangan bahwa sesungguhnya ajaran Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dn perkembangan peradaban serta ilmu pengetahuan, sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah pada zaman keemasan Islam di masa lalu. Usaha pembaharuan pendidikan bagi mereka harus kembali kepada sumber ajaran Islam yang murni Al-Qur'an dan A1-Sunnah, yang tidak pernah membedakan antara agama dan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh terpisah dari Islam. Pendidikan harus juga mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagimana yang dikembangkan oleh Barat.
c. Gerakan pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang sejarah bangsa masing-masing. Dengan memperbaiki dan mengembangkan apa yang ada, dengan menghilangkan kelemahan – kelemahannya, serta memasukkan unsur-unsur baru (ilmu pengetahuan dan teknologi) diharapkan akan membawa kemajuan bagi bangsa yang bersangkutan.
Ketiga pandangan tersebut, nampaknya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan pesantren dan sistem pendidikan Islam di Indonesia menjelang abad ke-20. Sistem penyelenggaraan sekolah-sekolah modern klasikal mulai masuk ke dunia pesantren.
Sementara itu, di beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, tetapi pelajarannya dititik beratkan pada pelajaran agama saja. Kemudian pada pcrkembangan berikutnya, madrasah-madrasah yang semata-mata bersifat diniyah berubah menjadi madarasah-madrasah yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.
4. Masa kemerdekaan dan Pembangunan
Pesantren, dalam perjalanan sejarahnya sejak masa kebangkitan nasional hingga masa perjuangan kemerdekaan, senantiasa tampil dan berpartisipasi aktif. Oleh karena itu, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantoro yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.[1]
Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada masa kemerdekaan dan pembangunan, pesantren mampu menampilkan dirinya berperan aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Meskipun demikian, pesantren juga tidak luput dari berbagai kritik terhadap kelemahan sistem pendidikannya, dengan manajemen tradisional. Tetapi beberapa pesantren dapat segera mengidentifikasi persoalan ini dan melakukan berbagai inovasi untuk pengembangan pesantren. Disamping pengetahuan agama Islam, diajarkan pula pengetahuan umum dan ketrampilan (vocational) sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan kepada santri agar selepas mereka dari pesantren dapat hidup mandiri dan mapan ditengah-tengah masyarakat. Beberapa pesantern juga telah menggunakan sistem klasikal dengan saran dan prasarana pengajaran sebagaimana yang ada di sekolah-sekolah umum. Bahkan ada juga pesantren yang lebih cenderung mengelola dan membina lembaga pendidikan. formal, baik madrasah atau sekolah umum mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi.
Transformasi kelembagaan pondok pesantren ini meng-indikasikan terjadinya keberlangsungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren. Dalam konteks ini, pesantren disamping mampu terus menjaga eksistensinya juga sekaligus bisa mengimbangi dan menjawab perubahan dan tuntutan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren memiliki kelenturan budaya yang memungkinkannya bisa tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Penting ditegaskan di sini bahwa transformasi tersebut pada kenyataannya tiak menggeser ciri khas dan sekaligus kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam.
Demikianlah pesantren yang telah ada di Indonesia sejak dua abad lalu tidak mengalami penurunan peran. Bahkan justru semakin eksis dan diminati masyarakat. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah pesantren dalam tiga dasa warsa terakhir, sejak tahun 1970-an. Data Departemen Agama, misalnya, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang. Jumlah tersebut rnenngalami peningkatan bcrarti pada 1981, dimana pesantren berjumlah sekitar 5.661 buah dengan jumlah santri sebanyak 938.397 orang. Pada 1985 jumlah pesantren mengalami kenaikan lagi menjadi 6.239 dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang dan pada 1997/1998 Departemen Agama telah mencatat 9.388 buah pesantren dengan santri sebanyak 1.770.768 orang.[1]
Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia tampaknya cukup mewarnai perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, tentunya juga tidak dapat menghindar dari kritik terhadap kekurangannya.
Diantara kelebihan pesantren terletak pada kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata, yang diikuti oleh semua warga pesantren, dilandasi oleh tata nilai yang menekankan pada fungsi mengutamakan beribadat sebagai pengabdian kepada Sang Khalik dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki, yang dikejar adalah totalitas kehidupan yang diridhoi Allah. Sikap hidup yang demikian terlepas dari acuan-acuan struktural yang ada dalam susunan kehidupan masyarakat di luar pesantren. Hal ini dapat membuat santri mampu bersikap hidup tidak menguntungkan diri pada lembaga mesyarakat yang manapun.
Sementara kekurangan-kekurangannya antara lain adalah tidak adanya perencanaan yang terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu sendiri, tidak adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih rnudah dicerna dan dikuasai oleh santri (anak didik), tidak adanya pembedaan yang jelas antara hal-hal yang benar-benar diperlukan dan yang tidak diperlukan dalam suatu tingkat pendidikan. Pedoman yang digunakan tidak mengandung nilai-nilai pendidikan, akibatnya adalah tidak adanya landasan filsafat pendidikan yang jelas dan terperinci. [1]
Bagaimanapun keadaan pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita mengakui besarnya arti pesantren dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya Jawa, dan tidak berlebihan jika pesantren dianggap sebagai bagian historis bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Apalagi pesantren telah dianggap sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia yang mengakar kuat dari masa pra-Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar